Yang Masih Teringat Kemudian Akan Terlupakan



Tadi di twitter gue gak sengaja baca tweet dari shitlicious. Gue emang gemar nyimak tulisan pendek dia di twitter, gue kepo. Ya, tulisan alit di media apapun itu bisa jadi inspirasi untuk banyak orang. Ada satu posting blog dia yang ngebahas tentang kisah masa lalu bersama seseorang yang pernah indah. Dari postingan itu gue jadi pengin nulis juga tentang hal yang sama.

Cekidot.

Dulu gue pernah LDR, jarak kita cukup dekat jika sedang berbincang lewat skype, kemudian akan terasa jauh jika hanya dipikirkan dengan memandangi harga tiket pesawat yang terbilang mahal pada masa itu, Jakarta-Batam. Waktu itu gue masih anak sekolahan. Masa-masa itu LDR adalah hal yang indah untuk gue dan mantan calon gebetan. Lewat pesan singkat yang sangat singkat sudah mampu mengalahkan pertemuan yang tak pernah terjadi, tentu tidak pernah terjadi.

Kami menempuh LDR dengan waktu yang sangat singkat, yaitu Sembilan puluh hari. Awal terjadinya LDR hanya karena pesan singkat yang salah kirim, lalu kemudian kami saling membalas pesan, sampai pada komitmen untuk menjalin hubungan jarak jauh dan tentunya berakhir di pesan singkat juga, setelah dia menelfon.

Waktu itu gue sudah merencanakan untuk pertemuan kecil, menabung dari sisa uang jajan yang sebenarnya tidak cukup jika ada kebutuhan sekolah yang mendadak, tapi dengan niat dan usaha akhirnya gue bisa membeli 2 lembar tiket Pulang-Pergi, sebelum gue take off dari bandara Soetta, ada panggilan masuk dari dia, sebuah pemutusan sepihak tanpa sadar kalo gue akan menemuinya.

“Aku gak bisa lagi, kamu jangan menemui aku, kamu terlalu baik untuk aku. Kita akhiri aja.” tulisnya pada pesan singkat setelah selesai mengkonfirmasi pemutusan sepihak lewat telfon.

Gue bengong, memasang muka kosong.

Lali gue memandangi layar ponsel yang berisi pesan singkat itu, membaca berulang kali hingga benar-benar gue sadar jika tulisan itu pesan dari dia. Entah saat itu gue harus sedih atau merasa kecewa, yang pasti dua rasa itu sudah berkolaborasi menjadi perpaduan yang indah bercampur aduk di dalam perasaan gue. Gue hanya bisa memandangi tiket pesawat dan layar ponsel lagi, memadukan dua hal yang berbeda tapi satu arti. Kadang sesuatu yang baik tak terbalas oleh hal yang sama, malah selalu oleh luka.

*Kemudian putus*

“Jangan lewat pinggir, sayang. Banyak paku!” teriak mantan pacar ketika gue bonceng dia dengan motor yang gue pinjem.

“Iya, iya. Tadi ditengah itu banyak kucing, takut ketabrak loh.” kata gue yang selalu ngeles.

Gue selalu membawa motor melewati jalan terlalu pinggir, hingga mantan pacar selalu mengkritik jika dipinggir jalan itu banyak paku, mungkin menurut dia lebih baik melewati jalan terjal dibandingkan mendorong motor yang bannya bocor dengan romantis. Kami selalu memperdebatkan hal-hal kecil seperti itu, perhatian kecil seperti itu pula yang masih melekat, meskipun kami sudah tidak sama-sama lagi. Seperti pacaran pada umumnya, kami sering berandai-andai tentang masa depan juga, seperti; “Sayang, nanti kalau kamu udah kerja, terus sukses, aku pingin bulan madunya di pantai, Mars ya.” kata mantan pacar sedari memeluk gue.

“Iya, kita tuh hanya bisa merencanakan, tapi semesta yang menentukan, sayang.” kata gue sedari tersenyum tipis.

Dia membalas senyuman gue. Indah. Manis.

Kemudian kalo gue menjawab tidak sepaham dengan jawabnnya, dia akan sok-sok ngambek seperti cewek-cewek pada umumnya, lalu kami akan seperti dua orang yang sedang memperdebatkan tujuan yang tidak sama, untuk menyamakan agar menjadi satu tujuan bersama. Kami pernah berantem, berantem hebat yang pernah gue ingat, waktu gue sering ketiduran kalo lagi asik sms-an.

Kondisi gue waktu itu sudah terlalu capek, mengingat gue masih duduk dibangku sekolah, dan setiap pagi harus bangun lebih awal karena jarak sekolah dari rumah jauh. Sebenarnya gue bukan tipe orang yang gampang bangun cepat setelah tidur diatas jam dua belas malam, tapi malam itu tidak seperti biasanya. Waktu gue sadar dari ketiduran, gue melihat beberapa pesan singkat dari dia yang masuk dengan isi yang, “marah-marah” seperti cewe pada umumnya saat gak ditanggapi.

Kami berantem hebat lewat pesan singkat, bagaimana gue bisa tahu jika pesan singkat itu adalah sebuah berantem adalah dari cara dia membalas pesan yang gue kirim, dengan huruf kapital dan beberapa akhiran tanda seru dibelakangnya seperti INI!!!!

Semakin banyak tanda seru yang dipakai, berarti semakin tinggi tingkat kemarahan seseorang itu. Malam itu sekitar pukul 00.10 pertengkaran kami masih belum reda juga, masih membahas kenapa dia ditinggal tidur. Dan klimaksnya adalah pulsa gue abis, langsung gue keluar rumah untuk mencari keberadaan tukang pulsa, tapi tak kunjung ada karena rumah gue jauh dari keramaian. Semua counter pulsa yang berada disekitaran rumah gue sudah tutup karena emang udah malam juga, kemudian dia mengirimkan pesan terakhirnya malam itu, setelah lama tidak gue balas pesannya lagi.

“YAUDAH, KALAU KAMU MAUNYA GITU, MUNGKIN KAMU UDAH GAK SAYANG DAN PEDULI LAGI SAMA AKU, BYE!!!!”

Lalu gue menyadari, jika cinta tak akan selamanya menjadi indah jika kedua orang tersebut tidak bisa saling mengerti tentang keadaan. Akhirnya gue memutuskan untuk menyudahi hubungan itu, karena gue tahu sesuatu yang dipaksakan tidak akan berakhir dengan baik. Akhirnya lagi kami menyudahi hubungan itu dengan tidak baik-baik, karena masing-masing dari kami merasa apa yang kami perjuangankan ini benar. gak ada yang mau ngalah.

Sampai saat ini gue masih gak ngerti sama cewek yang mengharuskan pasangannya untuk menghubungi setiap detik, menit, jam, bahkan setiap waktu. Padahal pacaran bukan hubungan yang mengekang tapi membuat nyaman pasangan, diluar pacaran pasangan kita punya kehidupan lain, punya hobi, teman dan punya sesuatu yang ingin dicapai, bukan hanya kamu (pasangan yang tidak mengerti arti masa depan).

*Kemudian putus lagi*

“Kita chatting sampai aku ketiduran ya, sayang.” tulis mantan pacar di kolom chat facebook.
“Iya, aku sayang kamu.” balas gue.
“Aku juga sayang kamu.”

Gue mengenal dia setelah beberapa kali sempat berpas-pasan waktu pergi ke sekolah, dia ke arah timur dan gue ke arah barat. Sekolah kami berbeda, tapi kami berteman baik di media sosial. Gue saat itu sudah bekerja disalah satu warnet yang tak jauh dari rumah, sambil menunggu ijazah selesai. Gue mencoba memulai chat kepada dia. Malam itu seperti malam yang tak biasa, seperti ada tarikan yang kuat untuk gue memulai chat kepada dia. Gue hanya mengirimkan beberapa tulisan singkat, karena dia terlihat galau di status-status yang dibuatnya.

“Hai, kok belum tidur?” tulis gue.
“Belum.”
“Kenapa? Kok statusnya sedih sih?”
“Iya, galau.”

Sampai pada akhirnya kami bercerita tentang banyak hal, hingga pada malam-malam lainnya kami seperti mempunyai jadwal tersendiri untuk online di media sosial, untuk melakukan kegiatan chatting. Lalu gue memberanikan diri menyatakan cinta. Ya, gue menyatakan cinta lewat media sosial, kolom chat itu. Setelah itu gue menyatakan lagi lewat telefon, kemudian esok harinya gue menyatakan lewat lisan. Alhamdulilah gue diterima. Absurd emang, tiga kali menyatakan cinta dengan media yang berbeda-beda.

Saat itu juga, dia menjadi orang yang berarti untuk kehidupan gue setelah yang lain kandas, awalnya semua berjalan dengan baik, kami saling membutuhkan, kami saling memberikan kabar, kami saling merasa dibutuhkan, hingga akhirnya hanya gue yang membutuhkan dia, sedangkan dia tidak membutuhkan gue, lagi karena orang ketiga.

Waktu itu dia sedang sakit, lalu dengan inisiatif, gue coba mengunjungi dia, saat itu gue belum punya apa-apa, handphone masih jadul banget, motor belum punya. Gue menggunakan angkutan umum untuk mengunjungi dia, setelah sampai digang rumah dia, gue membeli bubur ayam yang masih hangat agar dia bisa sarapan. Lalu dengan senyum gembira gue membawanya ke rumah dia. Butuh lima menit jalan kaki untuk sampai di depan rumah dia.

Lalu dia menerima makanan yang gue bawa, meletakannya diatas meja.

“Nanti aku makan ya, sayang.” katanya lemah.
“Kamu sih, main terus malem-malem, jadi sakit kan.” balas gue kesal tapi sebenarnya tak kesal, hanya mengkhawatirkan saja.”
“Iya, iya, enggak lagi deh.”

Dia memeluk gue, dan gue membalas pelukan kecil itu.

Kami berbincang banyak pagi itu, hingga sore menjelang, gue berpamit pulang untuk segera bekerja, karena gue bekerja dengan waktu shift, kebetulan selepas magrib adalah jadwal jam kerja gue. Hari-hari terasa indah setelah putus dengan mantan, kemudian lambat laun sudah mulai berbeda seiring, dia selalu mengabaikan pesan yang gue kirim, menghindari pertemuan, dan selalu membatasi panggilan telfon dari gue. Dari kondisi ini gue sudah mulai berprasangka buruk, mungkin dia sudah bosan, mungkin dia sudah sadar kalo sama gue cuma buang-buang waktu. Tapi gue menyangkal semua pikiran negatif itu dengan beranggapan, mungkin dia sedang sibuk, tugas kuliah dan hal-hal lainnya.

Seperti alitt bilang, “Jadi ketika wajah tak bisa dibanggakan, kenapa gak bikin kisah yang membanggakan?”

Waktu itu gue gak bisa apa-apa, mau beli apa-apa gak punya uang cukup. gak sengaja gue lihat ada slide video foto di Youtube, lalu gue berimajinasi ringan, akan membuat kumpulan slide foto dia dengan iringan lagu romantis dan kata-kata manis sebagai bumbu, meskipun gue bukan cowok romantis. Hal ini sengaja gue lakukan untuk hadiah ulang tahun dia beberapa minggu lagi, memang tidak seberapa, tapi setidaknya dia bisa mengerti seberapa arti perjuangan untuk membanggakan sesuatu kisah.

Ternyata dia suka dengan video yang gue buat, gue senang. Lalu gue memutuskan mengunjungi kampung halaman untuk beberapa waktu saja karena ketika itu adalah momen lebaran. Pagi itu tidak seperti biasanya setelah gue kembali dari kampung halaman, gue sudah membawakan sebuah bantal Barcelona, karena gue tahu dia sangat menggagumi klub sepak bola itu.

Sesampainya di Bekasi gue langsung menuju rumah dia, untuk memberikan bantal Barcelona itu, setelah gue sampai di depan rumah yang berpagarkan besi dengan corak bunga sebagai ornamennya, gue melihat ada motor seorang teman baik terpakir indah didepan garasi, gue tidak berpikir apa-apa. Gue masih ingat kalo seorang teman ini adalah sahabat dia waktu SMP, mungkin lagi main. Beberapa detik kemudian dia menyambut gue dengan raut wajah tidak biasa, dia tersenyum dengan rasa keterpaksaan yang menggurat jelas diwajahnya. Di dalam rumah, kemudian gue duduk di ruang tamu bersama mereka, gue duduk di kursi tunggal, sedangkan dia dan teman gue itu sudah duduk di kursi panjang berdua.

Iya, berdua, seperti mempelai pengantin.

Hening terpecahkan ketika dia memulai obrolan kecil.

“Jadi gini Win, aku gak mau kamu salah paham ya, aku udah sama dia sekarang.” kata seorang wanita yang tadi menyambut gue di depan rumah.

Gue hanya tersenyum tipis, melihat mereka berdua.

“Win, sorry ya, tapi kita sama-sama gak bisa bohong lagi.” seorang teman berkata dengan jelas.
“Gitu ya, yaudah. Pertemanan itu emang gak lebih penting dari wanita ya. bro.” Kemudian gue berjalan keluar, dia tidak mencoba menahan langkah gue. Dengan sisa hati yang berantakan dan bantal Barcelona itu, gue sadar wanita bisa saja menghancurkan pertemanan yang sudah terjalin lama.

Sejak kejadian itu, gue mencoba tidak ingin tahu tentang mereka lagi.

Ternyata memberikan kebahagian itu gak selamanya dibalas dengan bahagia juga, tapi buat gue itu bukan hal yang harus disesali. Gue akan terus memberikan hal yang terbaik untuk pasangan gue, meskipun pasti akan ada hal pahit nantinya. Buat gue hal indah itu bukan hanya tentang pembasalannya, tapi tentang bagaimana orang yang gue buat bahagia itu bisa tersenyum manis.


Posting Komentar

0 Komentar