Cerpen Secangkir Teh Hangat



Cerpen Secangkir Teh Hangat
foto by tumblr


Waroeng Kopi masih seperti dulu, meja bundar, kursi kayu dan lampu yang menerangi tiap ruangan dengan kesan sederhana. Di meja dekat pembatas ruang dalam dan luar, yang hanya dipisahkan oleh kaca transparan menjadi meja favorit kita, kita bisa menghabiskan banyak waktu disini, berbincang, dan bercanda-tawa. Terakhir kali kita disini sebelum kau pergi bersamanya, sebelum kau membuat rasa teh hangat ini menjadi pahit, dan sebelum kau berucap kata selesai kepadaku.

Ting.. Ting.. Ting!!

Bunyi sendok yang aku adukan didalam cangkir putih berisi teh hangat, aku tak lagi mencampurkan gula sebagai pemanis, mungkin bungkusan gula ini sudah tidak mampu memaniskan kehidupanku lagi, entah kenapa. Mungkin sudah tak ada lagi, bahkan sudah pudar.

Sudah lebih dari tiga ratus hari kau pergi, entah ini hal tentang penantian atau hanya aku yang bodoh menunggumu akan kembali. Ya, orang akan menertawakanku jika mereka tahu aku sedang menanti kembalimu, tentang hal yang bodoh. Kau pernah bilang kepadaku, jika suatu saat nanti kau akan pergi, mungkin benar, kau pergi, tapi bukan sendiri, melainkan bersamanya.

Seperti frame yang didalamnya terdapat moment foto kita, seakan sudah tak ada artinya lagi, bahkan untuk dipajangpun sudah tak bagus lagi. Aku sadar jika kita berbeda, memang tak selamanya perbedaan mampu menyatukan hal yang tak sama, aku percaya itu.

Tapi aku tak benar menantimu, sesuatu hal yang sudah pergi tak pantas untuk ditunggu, menunggu membutuhkan waktu, jika waktuku hanya untuk menunggu, aku tak akan mampu berjalan, karena menantimu butuh banyak waktu. Cangkir dimejaku ini sudah cangkir kedua selama waktu satu jam aku duduk disini, mungkin akan ada cangkir ketiga, keempat, kelima bahkan keenam.

Kau tahu jika kepergian adalah kedatangan yang tertunda, sedangkan penantian adalah kekecewaan yang tertunda. Mungkin kau tahu, tapi pura-pura tidak ingin tahu, bahkan kau sebenarnya mengerti, tapi pura-pura tak memahaminya, bisa saja kau sadar tapi kau membuat hal itu menjadi semu, kau memang pandai menutupi sesuatu hal.

Mungkin secangkir teh hangat mampu membuat hal yang belum direncanakan, seperti mengenal seseorang lain, seperti ini. Lalu kau sudah seperti lampu kota yang meredup, sekarang sudah ada lampu kota lain yang terang, melebihi terangnya cahaya yang menyala dikafe ini. Dan ketika waktu itu sudah tiba, aku akan kembali mencampurkan gula sebagai pemanis, tentu dengan rasa yang lain, tak sama denganmu lagi.

Kau adalah sebuah kanvas berwarna putih yang sudah diberi warna oleh pelukis lain, sedangkan aku adalah pelukis pada kanvasmu, yang hampir selesai tapi kau tak mengijinkanku untuk menyelesaikannya. Entah mengapa, cangkir yang aku anggap terakhir ini menjadi berbeda, setelah kedatangan kanvas lain, duduk bersama dimeja ini. Cinta itu akan menjadi indah, jika dituntun menjadi indah, bukan seperti itu seharusnya?