Hujan dan Studio 21


Tadi siang sempet ada pesan yang masuk di ponsel gue, setelah gue cek dan baca ternyata isinya adalah seorang teman mengajak gue untuk nonton di bioskop, lalu dalam hati gue bertanya-tanya. Dengan ajakan lewat pesan ini gue melihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu dari hal yang positif dan negative.

Dari hal positif adalah, mungkin dia sedang tak ada teman berbincang, selayaknya gue sebagai seorang teman harus meluangkan waktu untuk mendengarkan keluh kesahnya, tapi dari sudut pandang negative, ajakan ini seperti aneh. Dua orang cowo pergi ke studio nonton film cinta-cinta-an dengan pesan tiket perdana. Ini random abis.

Tapi gue melihat dari sudut pandang positif.

Setelah hujan yang tidak direncanakan itu turun membasahi halaman depan rumah gue, pesan konfirmasipun masuk di ponsel, lalu gue mengiyakan bahwa gue sudah menuju ke lokasi, yaitu studio 21. Selama waktu yang gue habiskan menunggu hujan, gue sempet ngetweet.

“Bulir air yang jatuh membasahi dinding kaca jendela, bukan gambaran tentang hal yang sudah lalu, tweeps!”

Ternyata tweet gue banyak yang RT dan Replay, meskipun jarang juga.

Mungkin mereka yang membaca tulisan pendek di twitter gue mengalami hal yang sama, yaitu menerawang dengan nanar kearah kaca jendela, mengingat-ingat sesuatu hal yang sudah lama terlupakan, seperti goresan tentang hal pahit di masa lalu.

Entah berfikir ingin kembali atau hanya mengingatnya, tapi yang gue pernah tahu. Ketika kita mengingat atau memikirkan hal yang sudah pergi, cepat atau lambat kita akan masuk didalam lingkaran yang sama, yaitu luka.

Setelah gue melewati beberapa lampu merah dan waktu yang tidak fair antara lampu hijau dan merah. Gue ngerasa ada diskriminatif terhadap lampu hijau, kenapa kalau lampu hijau nyala detikannya hanya sedikit, kenapa lebih banyak lampu merah. Dari asumsi yang gue pelajari tentang teori per-lampu-merah-an ini, ada dua kemungkinan yang cukup mengejutkan.

Yaitu, pertama, mungkin si orang yang memprogram lampu merah ini adalah orang yang sedang patah hati, hatinya hanya stuck di masa lalu, hingga akhirnya dia harus menunggu, menunggu dan menunggu, sampai akhirnya ia terus menunggu hingga waktu yang lama.

Lalu kedua adalah bisa saja si lampu merah ini lagi galau, nungguin lampu kuning tapi si lampu kuning nyalanya cuma beberapa detik lalu menghilang, makanya dia diskriminatif terhadap lampu hijau. Entah lah, mungkin teori ini berlaku untuk kalian juga?

Sesampainya di gedung parkir, kita bertemu. Bukan dengan awalan pelukan dan cium pipi kiri dan kanan, kita bukan ababil abege yang hampir akhil baligh. Catet!

Seperti yang sudah-sudah, setelah melewati lorong panjang dan nebeng tiga kali escalator, akhirnya kita sampai di studio 21, rasanya seperti beneran sampai di studio 21, gue ngerasain banget. Sayang bukan sama pacar! *SKIP*

Lalu kita duduk disatu meja, seperti biasa seorang teman selalu menagih kepastian.

“Win, mana 25!”

Ya, dia menagih kepastian dana yang sudah masuk di kasir studio 21.

Setelah awalan yang nggak masuk hitungan itu, kita sama-sama memperhatikan orang-orang yang sedang berada disekitar kita. Ada yang menunggu dan ada yang ditunggu. Ada yang berbincang dan ada yang mendengarkan. Mereka seperti mempunyai cerita yang bisa dijadikan sebuah tulisan, kata Radityadika.

“Gimana, tadi udah nelfon dia?” tanya gue disela-sela mendengarkan orang karaokean yang suaranya hampir ngebuat kucing ngelahirin sebelum waktunya.

“Udah.”

“Udah? Terus gimana?” tanya gue lagi.

“Tadinya pengen ngajak dia keluar, tapi karena sesuatu hal, dia nggak bisa deh.” Jelasnya singkat.

“Ohh, jadi beneran mau nemuin, udah mau nyobain nengok dilingkaran sacral?” kata gue terkekeh.

“Gue cuma pengen ketemu aja sih, udah lebih dari enam ratus hari nggak ketemu.”

Mungkin kalau disaat dia ngomong seperti itu, tiba-tiba dalam otak gue kayak ngedenger lagunya maliq-Dia. Tapi tiba-tiba runyam lagi karena suara orang yang karaoke itu terlalu over.


“Ketemu aja, ada dua hal yang bisa lo rasain lagi, berakhir dengan perasaan atau malah luka lagi.” jelas gue sedari memutar-mutarkan ponsel searah jarum jam.

Dia hanya diam tak menanggapinya.

“Kangen aja itu balikan yang ketunda bro!” kata gue lagi.

“Udah pernah ngomong.”

“Nah, makanya, move on!”

Padahal nggak ada yang salah jika kita akan mencoba berkunjung pada hal yang sudah lalu, tapi kadang kita nggak peka dengan hal yang sudah membuat hal lalu itu rusak, kita harusnya peka terhadap hal itu, jika hal yang sudah rusak tak sebaiknya dirapihkan lagi, akan terlihat jelas retakan itu. Beberapa dari kita tetep kekeh kembali, meskipun tahu akan terluka (lagi). Ya, itu cinta.

Lalu gue melihat dia serius berkutat dengan ponselnya, mengetikan dengan cepat diatas keypad yang ukurannya tak terlalu besar sedari tersenyum-senyum najis. Mungkin dia sedang senang dan mungkin juga sedang gelisah, entahlah. Hanya tuhan dan dirinya yang tahu.

“Beberapa pesan singkat itu kadang berarti banget bro, contohnya lo!” kata gue.

Lalu dia senyum-senyum najis lagi kearah gue.

Tujuh puluh delapan menit adalah waktu yang kita habiskan untuk menunggu film yang akan diputar, dan waktu sebanyak itu juga yang menemani obrolan kita tentang hal yang sudah rusak, dan kita masih sama-sama mengingat bagaimana rasa manis tiba-tiba berubah menjadi pahit, hingga akhirnya kita sama-sama memutuskan untuk keluar dari zona itu. Tapi yang jadi permasalahanya adalah, kita masih belum mampu menyadari jika rasa-rasa pahit itu sudah tak mudah untuk dirubah lagi menjadi rasa manis, rasa manis itu sudah hambar termakan oleh waktu.


Move on mudah, semudah berjalan… Diatas bara api!

Posting Komentar

2 Komentar