Beberapa hari yang lalu gue sempet ketemu sama temen lama, temen sekolah yang sekarang udah kerja di salah satu kafe di Jakarta. Pertemuan ini adalah pertemuan kita setelah lama nggak ketemu, padahal sering ngetweet bareng juga sih.
Banyak hal yang kita bahas saat berada di resto cepat saji, di salah satu mall yang ada di Bekasi, dari gimana kabar, sibuk apa selain bekerja dan yang paling umum, tentang masa lalu kembali kita bicarakan. Dua cangkir moccafloat dan beberapa bungkus burger menjadi cemilan saat membicarakan hal-hal tersebut. Sebenernya nggak ada yang salah kok dari semua obrolan yang di bicarakan ini, hal-hal umum yang biasa di pertanyakan ketika tak jumpa lama.
Sebelumnya sempet singgah dahulu di sebuah tokobuku, sekarang tokobuku menjadi tempat kedua setelah toilet, hal pertama yang gue lakukan ketika sampai pada sebuah mall, dimana pun mall itu. Gue akan mencari keberadaan toilet, disana gue akan bereksperimen bersama kaca atau sekarang bahasa gaulnya "Mirror". Ya, nggak perlu gue jelaskan hubungan gue dengan kaca, kan.
Tokobuku adalah tempat dimana gue akan membeli sebuah buku, (yaiyalah!!). Selain membeli buku, tokobuku adalah tempat jodoh untuk gue, gue sering ke tokobuku untuk membeli buku dan "Sekalian" nyari jodoh, hal ini ibarat sekali mendayung 2 sampai 3 pulau terlampaui, tapi sayang nggak pernah ada. Jangankan bisa kenalan, semua wanita yang masuk di tokobuku udah punya pasangannya masing-masing, termasuk mbak-mbak kasirnya. Dan hal itu gue urungkan lagi ketika hendak pergi ke tokobuku.
Setelah dapet buku yang gue mau, akhirnya kita singgah sebentar di satu resto cepat saji.
Oke, temen yang gue ceritakan ini seorang cowo, dia adalah cowo jomblo yang entah sejak kapan. Sama seperti gue, tapi bedanya dia ganteng dan gue sedikit nggak ganteng, beda tipis sih. Pembicaran memang mulai dari yang ringan-ringan, sampai pada pertengahan obrolan, entah kenapa kita membicarakan satu topik yang nggak biasa. Ya, tentang masalalu, tentang rindu yang tertinggal di ruang gelap bernama kenangan.
"Jadi masih gini-gini aja nih?" tanya gue.
"Iye, emang mau gimana lagi." kata teman seraya mengaduk-aduk moccafloat yang ada di depannya.
Gue berdehem sebentar, lalu melanjutkan."Yang di sebrang pulau gimana?" tanya gue lagi.
"Katanya pertengah tahun mau balik dia."
"Nah, ketemu dong nanti?"
"Ketemu?" dia sedikit berfikir, entah apa yang dipikirkannya.
"Iya, entar ketemu aja."
Dia hanya diam dan nggak ngeluarin kata apa-apa tentang "pengiyaan" gue.
"Entar double date lagi, kaya waktu itu." katanya cengengesan.
Dan sekarang giliran gue yang diem nggak membalas asumsi apa-apa, sebenernya gue sadar dengan ajakan itu, tapi apa pantas sebuah ruang hampa bernama masalalu bisa di perbaiki lagi, sesuatu yang sudah hancur nggak perlu di rapihin lagi, harusnya sesuatu yang sudah hancur cukup sebagai cerita pahit lalu, apalagi di bawa kepada masa depan, terlalu ekstream.
Gue tertawa pendek.
"Gue terakhir ketemu dia setahun yang lalu, Win." kata dia.
"Udah lama juga ya."
Sebenernya gue pernah juga mencoba bertemu lagi dengan masalalu itu, gue pikir segala tentang hal lalu bisa berubah setelah perpisahan, ternyata pertemuan itu membuat gue yakin, jika perubahan nggak bisa di nilai dari perpisahan, masih sama.
Dan obrolan senja itu kita sudahi dengan singgah kembali di toilet, yang pasti disana adalah tempat untuk merubah penampilan menjadi ganteng, itu motto.
Segala sesuatu tentang masa lalu nggak akan pernah menjadi indah, terlebih menyisahkan rasa pahit.
0 Komentar