Cerpen Tentang Seandainya

Cerpen Tentang Seandainya
foto clickgen


Laki-laki dengan tubuh tegap dan rambut ikal sedang berdiri diantara persimpangan jalan, ia tak tahu harus memilih jalan yang mana untuk mencari harap yang lama diinginkan. Ia tersesat dalam hening malam yang semakin membeku karena sayup angin menderu dengan cukup kencang. 

Sepuluh tahun yang lalu pada jam yang sama dan di tempat yang sama, Adrian mengenal seseorang wanita yang memiliki mata kucing, indah dan bercahaya. Tapi wanita itu memilih untuk mengejar laki-laki lain dalam mimpinya. Dan waktu selama itu pula yang menambatkan mereka dalam kisah pertemanan abadi.

Setiap pukul sepuluh pagi di hari senin ia selalu menunggu wanita bermata kucing datang, membawa senyum merekah dan kisah bahagia yang senantiasa mereka ceritakan hingga bergelak tawa bersama.

Wanita itu selalu percaya jika suatu hari nanti ia akan bersama laki-laki dambaannya itu-yang pernah ia temui dalam mimpi. Wanita itu percaya jika cinta pada pandangan pertama selalu nyata, sedangkan Adrian selalu berpikir realistis tentang itu, jika cinta pada pandangan pertama hanya cinta yang kebetulan saja.

Dua cangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asapnya menjadi teman mereka dalam berbincang. Rintik-rintik hujan mengguyur menghantam kanopi café, mereka masih tenggelam dalam bincang yang ringan, wanita yang Adrian sebut-sebut itu bernama Adra, Dra; begitu Adrian memanggil teman wanitanya itu, dari kecil mereka sudah berteman, kedua orang tua mereka memiliki bisnis yang sama, yaitu bisnis kelapa sawit, kedua orang tua mereka sering sekali keluar kota untuk memastikan bisnisnya berjalan dengan baik. Bisa dibilang Adrian dan Adra seperti dua orang yang sama-memiliki teman bernama sepi.

Adrian menyeruput kopi dengan perlahan, tak ingin memecahkan jeda hening yang sedari tadi ia susun setelah berbicara ngalor-ngidul.

Adra berdehem, “Jatuh cinta itu rasanya gimana ya?” wanita itu bertanya seolah belum pernah sama sekali merasakan jatuh cinta.

Yang ditanya hanya memincingkan mata, memasang wajah bingung bercampur ragu jika wanita yang sekarang ada di hadapannya belum pernah sama sekali merasakan jatuh cinta. “Apa?” tanya Adrian.

“Jatuh cinta rasanya gimana, Adrian?” wanita itu mengulang pertanyaannya.

Adrian melepas tawa yang sempat menyangkut ditenggorokan. “Apa. Kamu belum pernah pacaran?” ejek Adrian pada Adra.

Adra menggeleng pelan, “Jangan diketawain..,” balasnya seraya mencubit bahu Adrian.

Adrian masih saja tak dapat menghentikan tawa yang spontan terhempas dari dalam tubuhnya, ia masih tak percaya jika wanita secantik Adra belum sama sekali merasakan jatuh cinta. Padahal Adra sudah berkepala dua yang notabennya sudah memiliki jam terbang yang tinggi.

“Kamu mikir, kalau aku nggak berani kan, nggak kayak kamu yang udah ganti-ganti pacar, udah kayak tukang ojek tahu nggak..,” ujar Adra dengan nada ketusnya.

“Ngambek, jelek tahu. Emang kamu pikir mereka semua itu pacar aku, aku juga..,” belum selesai Adrian membalas, Adra memotongnya. “Jomblo?

“Itu kamu, jomblo ngenes. Aku single tahu.” Adrian membela.

“Jomblo sama single kan sama, sama-sama sendiri kalau malem minggu..,” jelas Adra.

“Kayak sekarang maksud kamu?”

“Iya.” balas Adra cepat.

Mereka larut dalam tawa yang ringan tapi sepertinya cukup mengesankan, biasanya mereka hanya membicarakan hal-hal lucu yang terkadang setelahnya akan hilang terhapus oleh waktu yang semakin menua. Tapi sepertinya kali ini mereka berbincang serius, atau mungkin hanya Adrian saja yang menanggapi serius.

Adrian menatap lekat-lekat Adra, “Jatuh cinta itu indah, kamu nggak bisa berkata apa-apa.” Jelasnya singkat.

Seperti dihipnotis Adra membalasnya dengan mengangguk lalu diikutin dengan menoyor kepala Adrian, “Serius banget ngeliatin aku..,”

Dan seketika itu ada perasaan berbeda yang sedang Adrian rasakan, tidak seperti bincang yang sudah-sudah, kali ini sangat berbeda, seperti ada hujan bunga yang menaburi setiap jeda ketika mereka berbincang. Seperti musim panas yang menghangatkan peluk.

“Adrian.., Adrian..,” Adra membuyarkan lamunan Adrian.

“Aku lagi jatuh cinta..,”ujar Adra lirih.

“Sama apa?” Adrian terkekeh.

“Sama cowoklah!” Adra membalas dengan ketus.

“Terus?” Adrian balik bertanya.

“Aku nggak tahu apa dia suka juga sama aku..,” kali ini Adra melempar fokus keluar jendela, seperti sedang menatap sesuatu.

“Bilang duluan aja kalau ragu.” Adrian berkata seolah menyatakan cinta itu mudah.

Adra kembali melempar fokus pada Adrian, “Aku kan cewek..,”

“Emang kenapa? Kalau sayang itu diungkapin jangan dipendam sendiri.” jelas Adrian singkat.

Adra mengerutkan dahi, seperti sedang berpikir keras. “Gitu ya, Dri.”

Adrian mengangguk pelan. Hujan di luar café sekarang hanya tersisa gerimis saja, melebur dalam sejuk yang menghembus. Adra melempar lagi pandangan keluar jendela sembari tersenyum tipis, entah apa yang sedang ia pikirkan kali ini, sepertinya akan ada sesuatu yang luar biasa-tergurat jelas di bingkai senyum itu. Lalu di waktu yang sama pula, perasaan Adrian seperti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan tapi tak mampu, seperti ingin tapi tak dapat terjelaskan. Seketika ada rasa takut yang muncul dalam hatinya malam itu. Mereka menghabiskan sisa kopi pada cangkir dan memutuskan untuk pulang malam itu, setelah berbincang panjang. Ada yang sepsial dalam hati Adrian tentang wanita yang sudah lama menjadi seorang teman, tiba-tiba saja wanita itu memberikan rasa yang berbeda dalam setiap lemparan senyum manis itu.


***


Matahari pagi sudah mengintip lucu dari balik horden bermotif batik itu, setelah pulang dari café tadi malam, Adrian tak bisa tidur dengan nyenyak, seperti ada hal yang harus ia sampaikan pada Adra. Adrian bangkit dari ranjang, menatap cermin dengan lekat-lekat. Adrian menyadari hanya ada dirinya disana, bahkan Adrian lebih takut seandainya ia jujur dengan perasaan yang berbeda ini akan ada hati yang terlukai. Tapi akan lebih terlukai jika memendam perasaan sendiri saja. Dengan langkah gontai, ia keluar dari kamar-menyeduh teh hangat pada mug favorit bergambar batman. Hari ini Adrian ada kuliah siang, wajar saja jika pukul sepuluh pagi ia baru bangkit dari pulau kasur.

Beberapa detik setelah menyeduh teh, samar ia melihat Adra menghampirinya membawa senyum merekah. Dari bahasa tubuhnya-Adrian sudah mengira jika wanita yang menghampirinya pagi-pagi seperti ini hanya ada dua hal. Pertama; Adra datang untuk minta diantarkan ke kampus. Kedua; ada kabar bahagia yang akan disampaikannya.

“Adrian, ada yang mau aku sampaiin ke kamu..,” ucap Adra yang masih mengatur tempo pernapasaan dari berlari kecilnya.

“Aku juga mau ngomong sesuatu sama kamu, Dra.” Adrian membalas dengan melempar senyum berharap.

“Aku duluan..,” kata Adra, lalu melanjutkan. “Aku baru jadian sama Reno, makasih buat saran kamu kemarin..,” Adra menepuk pundak laki-laki yang ada di depannya dengan pelan. sekarang tempo pernapasan Adra sudah normal tapi tempo detakan jantung Adrian seketika seperti berhenti mendengar kabar baik bagi Adra bukan bagi Adrian. “Kamu mau ngomong apa?” tanya Adra.

“Enggak jadi deh..,” ujar Adrian singkat lalu diiringi dengan menyeruput pelan teh hangat yang masih mengepulkan asap.

“Aneh kamu.” Kata Adra yang masih tersenyum-senyum sendiri.

Seketika perasaan Adrian seperti tertancap belati tertajam, mengkoyak-koyakan hati yang utuh menjadi beberapa bagian kecil. Dan setelah hari itu, seperti ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya, mereka sudah jarang sekali jalan bersama, menikmati kopi bersama, hingga bergelak tawa bersama. Dan saat itu pula Adrian memiliki kegiatan baru; menanti Adra pulang.

Setiap kali mereka bertemu, Adra hanya menceritakan kisahnya saja tanpa peduli dengan cerita mereka yang pada awalnya selalu seru untuk diceritakan berulang-ulang, membosankan tapi selalu tertutup topeng senyum setiap kali Adra berbicara yang itu-itu saja. Akhirnya Adrian mencoba jujur malam itu, mengungkapkan perasaannya pada Adra, Adrian sengaja mengajak Adra keluar malam itu untuk membeli es cream durian kesukaan mereka.

Udara malam ini tidak bersahabat, sepertinya beberapa jam lagi akan turun hujan, mungkin ringan, mungkin juga lebat atau bahkan mungkin akan ada kolaborasi dengan angin.

Adrian berdehem. "Kamu percaya nggak, kalau orang yang udah lama temenan itu bisa berubah jadi jatuh cinta." Ujarnya lirih.

"Kamu kebanyakan nonton sinetron tahu, Dri." jelas Adra dengan nada mengejek.

"Aku serius, aku jatuh cinta sama kamu, Dra..,"

“Nggak lucu ah Dri becandanya.” Adra masih mengelak jika pernyataan Adrian adalah candaan yang biasa mereka lakukan.

Adrian meraih tangan Adra, menggenggamnya dengan penuh harap jika apa yang tadi disampaikannya adalah bukan candaan, “Aku serius, Dra. Aku nggak tahu harus gimana lagi, tapi aku ngerasa ada yang hilang waktu kamu jadian sama Reno..,” jelas Adrian.

Mereka tenggelam dalam hening, hanya suara obrolan dari meja sebelah yang meriuhkan hening mereka, hingga beberapa detik selanjutnya Adra melepaskan genggaman itu dan mengeluarkan suara.

"Tapi aku nganggep kamu cuma temen!" kata Adra lalu pergi begitu saja keluar cafe. Dan di saat yang bersamaan pula, ada motor yang melaju dengan kencang menghantam Adra, seketika Adra tersukur di atas aspal hitam tak sadarkan diri.

Adrian yang mendapati Adra terjatuh tak sadarkan diri hanya bisa bergeming, hingga orang-orang disekitar kejadian menolong Adra dan melarikannya ke rumah sakit terdekat. Ternyata semesta berencana lain, Adra pergi untuk waktu yang lama, meninggalkan raga yang terbaring lemah tertutupi oleh kain putih dan tangis Adrian malam itu.

Dering ponsel Adrian membuyarkan lamunan itu, lamunan yang sudah berlalu sepuluh tahun lalu. 

Seandainya waktu bisa diputar hingga sepuluh tahun lagi, mungkin tak akan ada yang tersakiti, seandainya Adrian tidak memberikan solusi waktu di café itu, mungkin sekarang mereka masih dapat menikmati kopi hitam bersama dan seandainya waktu itu Adrian tidak berkata jujur tentang perasaannya pada Adra hingga membuat Adra harus berlari meninggalkannya karena kecewa, mungkin tidak akan terjadi kecelakan yang merenggut nyawa Adra.

Adrian membaca pesan singkat yang masuk, hanya pesan singkat dari seorang teman kampus jika besok dosen tidak datang. Setiap kali Adrian berkunjung di café ini, selalu saja bayangan Adra menambatkan diri melayang-layang dipikiran Adrian, dan setelah memiliki kegiatan; menanti Adra pulang, sekarang Adrian memiliki kegiatan lain lagi; mengunjungi rumah masa depan Adra dengan membawakan beberapa bunga mawar dan sekotak coklat disana, mungkin Adrian adalah laki-laki bodoh yang terlambat jujur pada perasaannya sendiri jika ia benar mencintai Adra lebih dari seorang teman kecil. Seandainya semua ini hanya mimpi, mungkin saat ini Adrian dapat memilih kemana jalan yang harus ia pilih untuk bertahan atau menjemput harap lain yang ia inginkan.


Posting Komentar

8 Komentar

  1. POV nya kok loncat mas? Konsistensi dari POV3 ke POV1 terlalu cepet jadi pembaca rada bingung hehe.

    BalasHapus
  2. Yes. POV-nya berantakan, thanks ya :)

    BalasHapus
  3. ga berantakan kok, cuma perlu lebih teliti dan tau loncatan POV yang pas itu gimana. Kalo saya ga berani loncat, soalnya nnti karakter tokohnya jadi keluar jalur. hehehe

    BalasHapus
  4. Pada paragraf pertama lebih enak kl laki2 itu dijelaskan namanya, sehingga ketika di paragraf dua pembaca ga bingung krn tiba2 ada nama Adrian yg sebelumnya ga dsebut. kl mau, di paragraf kedua itu disebutkan gni: Lelaki itu, Adrian, selalu...bla bla bla. Lalu di paragraf ini juga kata "cinta pada pandangan pertama" terlalu banyak disebut, sehingga kurang efisien dan hambur. #masukan dari cewek amatir hehe#

    BalasHapus
    Balasan
    1. thanks, udah direvisi lagi. Makasih banget buat masukannya ya :)

      Hapus
  5. baru paragraf dua mas, nnti ana baca paragraf2 selanjutnya ya

    BalasHapus
  6. wanita yang memiliki mata kucing, indah dan bercahaya?
    wow.... susunan kalimat yg indah...

    ceritanya bagus broh.... memang sih ada kesan lari kesana kemari... but, everything is okey :)

    BalasHapus