Wanita Berpayung Merah dan Coklat Panas

foto kisihati

Sore itu hujan sangat deras, tak biasanya langit menangis seperti itu, padahal langit disebrang masih tampak cerah, matahari masih mengintip lucu. Ia menerawang jauh dari lantai tiga gedung perkantoran, dengan berpagarkan kaca transparan sangat terlihat jelas semua kegiatan dibawahnya. Walau kadang tiupan angin membuat kabut putih menutupi jarak pandang yang tak jauh lagi. Wanita itu, wanita yang mengenakan dress berwarna merah, wanita yang setiap kali turun hujan mengenakan payung berwarna merah, kontras dengan pakaiannya.
Wanita itu selalu duduk  sendiri di bawah halte, menanti hujan turun, kemudian setelah hujan turun ia akan bermain bersama rintikan hujan, seperti hujan itu tak akan membuatnya menjadi kedinginan atau bahkan terjatuh sakit. Dan setelah hujan reda, ia akan pergi menyusuri trotoar kecil, melangkah menjauh dari halte dan kemudian hilang dalam sisa rintikan hujan yang tipis. Aku tak tahu siapa wanita berpayung merah itu, aku bahkan tak pernah tahu kapan ia memulai menunggu dan kapan ia pergi. Aku hanya tahu, jika mendung sudah terlihat gelap, dia hadir bersama hujan.

Aku pernah melihatnya bermain bersama hujan, tapi ditempat yang berbeda, bukan di belakang kaca jendela kantorku, aku melihatnya dari kedai kopi. Aku biasa menikmati secangkir coklat panas disini, bukan hanya coklat panas saja, banyak minuman lainnya, seperti kopi cappuccino, mochaccino, luwak dan kopi hitam. Kedai ini sangat nyaman, aku sering duduk sendiri ketika sudah suntuk dengan beberapa berkas kantor yang mengusutkan pikiran, aku juga tak terbiasa berlama-lama bekerja didalam kantor, aku lebih senang bekerja di tempat outdoor, pikiranku bisa menjadi lebih fresh.

Aku sudah melihat wanita berpayung merah itu lebih dari lima kali, aku pikir tak akan melihatnya sebanyak itu, ternyata setiap mendung datang, ia sudah siap disana, di halte dengan berteduhkan asbes berwarna hijau, ia duduk di bangku yang terbuat dari keramik berwarna cream dan tatapannya seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku tak pernah berani menanyakan apa yang sedang ia pikirkan, tapi aku ingin sekali mencobanya.

***

Sore ini tampaknya akan turun hujan, terlihat jelas awan diatas kepalaku berwarna kelabu, dan banyak sepoi angin menderu dengan wangi khasnya yang sebentar lagi akan turun hujan. Hal yang aku tahu tentang bermain dengan hujan adalah, itu adalah bagian seru. Aku pernah melakukan permainan ini dulu, sewaktu masih berumur tiga tahun, aku bermain hujan bersama teman-teman. Ibu pernah melarangku agar tidak bermain hujan-hujan terus karena bisa sakit demam, tapi aku selalu menepis larangan itu. Setiap kali menepis larang itu, aku sering terkena penyakit demam dan flu, tapi ibu tak pernah lelah merawatku hingga sembuh lagi, mungkin itu naluri seorang ibu. Tapi wanita berpayung merah itu bukan anak kecil lagi, dia wanita yang tampak seperti sepermainan denganku, memiliki umur yang mungkin sudah berkepala dua, dengan umur seperti itu selayaknya tidak pantas bermain bersama hujan lagi.

foto special

Hujan yang tadinya deras sekarang sudah mereda, aku meninggalkan sisa coklat panas yang masih tersisa diatas meja itu, menyelipkan uang pecahan selembar dua puluh ribu dan selembar uang pecahan lima ribu rupiah, lalu aku berjalan keluar kedai, mendekati halte dan wanita berpayung merah itu. Ia masih bermain bersama hujan, walaupun hujan sudah semakin reda.

“Hey, apakah kau tidak kedinginan?” tanyaku setelah duduk di bawah halte.

Wanita itu tak menghiraukanku, seolah hanya ia saja yang sedang menikmati hujan dan tidak ada yang mengamatinya, ia masih terus bermain bersama sisa hujan, dan bersama payung merahnya.

“Apakah kau tidak ingin berteduh sebentar disini?” aku masih bertanya kepadanya.

“Apakah kau tak ingin mencoba bermain bersamaku, disini?” ia membalasnya.

“Kau bergurau, aku tak ingin basah dengan baju kantor ini.”

“Kau takut dengan air?”

“Aku tidak takut.”

“Kalau tidak takut, kemarilah, bermain bersama kami.” Ia masih kekeh mengajakku bermain bersamanya. Hujan sudah mereda, sekarang butir air yang terjauh sudah semakin tipis dari yang tadi, aku berdiri dari dudukku, mencoba mendekatinya.

“Kau ternyata takut dengan air.” Ia berkata mengejek.

“Aku tidak takut air.”

“Untuk apa kau menghampiriku setelah hujan reda kalau tidak takut dengan air?”

“Apakah tidak boleh? Kau sepertinya wanita yang menyebalkan.” Ejekku. “Namamu siapa wanita berpayung merah?” aku melanjutkan bertanya.

“Kau masih ingin mengenal wanita yang menyebalkan juga?”

Aku hanya tersenyum tipis kepadanya.

“Kau memang menyebalkan, wanita berpayung merah!”

“Biar saja, aku Zahra, kau siapa tuan berpakaian kemeja putih?”

“Zahra?”

“Iya, Zahra Ratifa.”

“Apakah kau tak ingin duduk disana?” Anggara menawarkan sedari menunjuk arah bangku halte.

Wanita itu menggangguk dan memasang senyum lucu, tiba-tiba wanita yang cuek itu menjelma menjadi sosok anak kecil lucu dan menggemaskan. Anggara sudah mengira dari awal bertemu, jika wanita itu memang tipe wanita yang gembira.

“Apakah kau tak takut sakit, Zahra?” aku bertanya.

“Tidak, aku tidak takut.”

“Tapi kau selalu datang setiap hujan turun?”

“Memang, aku suka dengan hujan.”

“Kau wanita yang unik.” Aku memuji.

“Kau pria yang aneh.” Ejeknya.

“Aneh?” aku mengernyitkan dahi.

“Ya, kau diam-diam mengamatiku dari jauh-jauh hari.”

“Aku hanya penasaran.” Aku membela.

“Hahahaha.” Dia terkekeh.

“Zahra, apakah besok kau ada waktu luang?”

“Hmm,” dia berdehem. “Ya, aku banyak waktu luang.”

“Aku ingin mengajakmu berbincang di kedai itu, kau suka coklat panas?” Anggara menujuk kedai yang terletak di ujung perempatan jalan.

“Bisa, oke tuan kemeja putih, aku harus pergi, sampai bertemu besok disana.” Lalu Zahra pergi meninggalkan halte dan Anggara, aku menggangguk seraya tersenyum kepadanya, aku masih melihat pundaknya menjauh, hingga dia menghilang di ujung jalan kota.

***

Aku sudah tahu siapa wanita itu, wanita yang setiap turun hujan selalu bermain dengan hujan, selalu menikmati tiap tetes air hujan, Zahra namanya, wanita dengan dress merah dan payung merah, sangat kontras sekali. Aku kembali menuju kantor, kantorku berada dilantai lima di lingkungan perkantoran kota, aku kembali ke kantor hanya untuk absen saja karena jarum jam ditanganku sudah menunjukan pukul lima sore.

Hari ini aku sengaja ijin tidak kerja, aku sudah membuat janji dengan wanita berdress merah itu. Aku akan menemuinya di kedai yang terletak di ujung perempatan jalan. Aku sudah duduk di meja favoritku, meja dengan disisi kanan langsung  terbataskan oleh kaca transparan, pemandangan orang berjalan, kendaraan dan hal-hal yang berlalu-lalang terlihat jelas. Setelah menunggu sepuluh menit, akhirnya Zahra datang, sore ini dia tidak mengenakan dress berwarna merah maupun payung berwarna merah yang biasanya ia kenakan. Zahra memiliki rambut panjang bergelombang, kulitnya putih tanpa cacat, bibirnya manis berwarna merah muda, laki-laki mana yang tidak terhipnotis dengan keindahaan ciptaan Tuhan itu.

Zahra datang dengan terbalutkan tshirt putih bergambar tokoh kartun Doraemon, lalu disampulnya tshirt itu dengan cardigan berwarna merah muda. Ia tampak manis dan lebih santai. Disampirkannya tas kecil berwarna coklat muda di lengan kanan.

“Hey, sudah lama kau menunggu?” Zahra berjalan menghampiriku.

“Baru sebentar, duduk.” Balas Anggara. “Aku pikir kau akan mengenakan dress merah dan payung merah itu lagi, kostum yang biasa bersamamu dan hujan.” Ejekku.

“Aku pikir kau akan mengenakan kemeja putih bergaris dan jas hitam lagi, seperti ketika kau menyapaku dari halte bus.” Zahra membalas seraya terkekeh.

“Ah, kau bisa saja, Zahra.”

Anggara mengangkat tangan kanannya, menginsyaratkan pramusaji agar menghampirinya, tak lama seorang pramusaji menghampirinya dengan membawa selembaran menu dan secarik kertas berserta pena, memang itu adalah barang yang selalu bersama mereka.

“Coklat panasnya satu lagi, mas.” Anggara memesan satu cangkir coklat panas lagi.

“Ada lagi, mas?” Pramusaji bertanya.

“Sudah itu saja.”

“Baik, saya ulangi pesanannya, satu coklat panas.” Pramusaji mengulang pesanan Anggara.

Anggara hanya menggangguk, lalu tanpa diperintah pramusaji berputar haluan dan meninggalkan mereka menuju dapur. Biasanya jika tidak sedang sibuk, Anggara memang sering menikmati beberapa cangkir coklat panas disini, tapi beberapa hari belakangan ini aku penasaran dengan wanita yang selalu bermain bersama hujan, sekarang pun aku masih penasaran setelah wanita itu berada satu meja denganku.

“Zahra, kenapa kau suka bermain bersama hujan?” tanyaku.

“Hujan itu alami, bukan buatan ataupun hal yang dipaksakan. Dia jatuh dengan alami dari langit.” Jelasnya singkat.

“Tapi, apakah kau tidak bosan, setiap kali hujan turun, selalu bersama mereka?”

“Tidak, aku tak pernah bosan, hal yang membosankan adalah bukan hal yang dilakukan bersama-sama, tapi hal yang dilakukan bersama-sama tapi tak pernah ada sebuah kesan.”

“Hujan kan selalu sama, air dan air juga.”

“Tapi, curahnya tidak selalu sama, kadang besar, kadang sedang, kadang kecil, kadang pula bersama angin, tak pernah aku bisa menembak dengan siapa hujan akan turun."

“Kau terlalu paham dengan detail hujan.” Pujiku seraya tersenyum.

Pramusaji yang tadi mencatat pesanan datang lagi, kali ini ia membawa nampan yang diatasnya terdapat secangkir coklat panas. Lalu setelah sampai pada meja sang pemesan, ia akan dengan hati-hati meletakan cangkir itu diatas meja, seolah tak ingin memecahkan keseriusan perbincangan. Setelah meletakan cangkir itu dengan hati-hati, pramusaji akan mengeluarkan satu kalimat, “Selamat dinikmati, coklat panasnya.” Tergantung dari makanan atau minuman yang dipesan. Ya, memang itu yang diajarkan oleh manager mereka untuk melayani pengunjung.

“Makasih mas.” Kataku sedari tersenyum tipis.

“Nih, coklat panasnya, cobain deh, pasti kau ketagihan setelah ini.”

“Aku coba ya tuan kemeja putih.” Lalu Zahra menyeruput dengan tempo pelan cangkir yang berisi coklat panas itu, mengecap-ecap dengan pelan seolah sedang menilai cita rasa dari coklat panas itu, lalu meletakannya lagi dengan hati-hati diatas meja.

“Lumayan, kau sering kesini?” Zahra bertanya.

“Sering, makan siang aku selalu menyempatkan waktu disini, sedang pusing dengan kerjaan, aku sering berkunjung kesini, dan sekarang ketika sedang penasaran, aku juga berkunjung kesini.” Jelasku singkat.

“Penasaran?”

“Ya, kau yang membuatku penasaran, dengan dress merah, payung merah dan hujan itu.”

“Hahahahaha, masih saja kau membahas itu.” Dia terkekeh, seolah ada kalimat yang lucu hingga mengundang tawanya.

“Apakah kau tak keberataan, jika aku sering mengajakmu berkunjung kesini?” pintaku.

“Boleh saja, jika aku tak sibuk dengan hujan, tapi mungkin aku akan menyempatkan waktu, sepertinya aku mulai menyukai cangkir yang berisi coklat panas ini.”

Aku tersenyum tipis. Aku pernah mengajak wanita sebelum Zahra berkunjung kesini, tapi dia tak menyukainya, katanya tempat ini sangat udik dan bukan seleranya. Ya, Andyn adalah tipe wanita yang modis dan berselera tinggi, kalau bukan karena kerjaan kantor, aku tak sudi bertemu meeting dengannya. Aku selalu resah dengan orang-orang yang mengganggap dirinya serba bisa dan punya segalanya, padahal jika kita memiliki segalanya dan tak punya siapa-siapa, untuk apa segalanya itu? Untung saja aku dilahirkan dari kalangan keluarga menengah kebawah, jadi dari kecil aku sudah diajarkan untuk menghargai, menghargai dari hal-hal kecil sekalipun.

Zahra tiba-tiba batuk, dia menutupinya dengan sapu tangan coklat, batuknya seperti berdahak, tapi seperti tidak berdahak juga. Aku tak ingin menanyakannya, apakah karena coklat panas itu, atau sedang sakit batuk karena sering bermain bersama hujan. Dia meminta ijin kepadaku untuk pergi sebentar ke toilet. Setelah kembali dari toilet, aku mendapati wajahnya yang lesu, seperti kekurangan darah, aku masih tak berani menanyakannya lebih dalam lagi.

“Hey, kau baik-baik saja?” tanyaku setelah melihat wajahnya yang pucat.

“Aku baik-baik saja, Anggara. Maaf, aku harus pergi sekarang, tadi ibunda sudah menelfonku.” Dia memutuskan untuk pulang.

“Aku antar.” Aku menawarkan.

“Tidak usah, aku tak ingin merepotkan orang lain.” Dia menolak tawaranku.

“Tapi kau tampak tidak sehat, Zahra.”

“Ini alamat tempat tinggalku, jika sempat, berkunjunglah.” Dia memberikan selembar kartu nama.

“Oke, aku akan berkunjung nanti.”

“Terimakasih coklat panas dan perbincangan singkatnya.” Dia tersenyum sedari memberikanku selembar kertas yang tertulis alamat didalamnya.

Aku membalas senyuman itu. Lalu membiarkannya pergi dan kemudian hilang setelah pintu kaca itu menutup dengan sendirinya. Perasaanku sekarang menjadi aneh, berubah dari yang penasaran menjadi ingin terus memikirkannya, kata seorang teman, “Jika kita selalu melulu memikirkan seseorang itu, tandanya adalah jatuh cinta.” Apalah aku ini, jatuh cinta pada pandangan pertama. Sebulan setelah berbincang dengan Zahra, aku tak tergesa-gesa ingin berkunjung ke rumahnya, tapi malam itu malam yang tidak biasa untukku.

Aku memutuskan untuk menemuinya, rumahnya tak jauh dari kedai yang biasa aku kunjungi, hanya empat puluh lima menit waktu yang kubutuhkan, malam itu cuaca masih cerah, bintang-bintang dilangit mengintip dengan lucu dibalik awan yang belum ingin pulang. Deru angina semilir mengikuti langkah kakiku, menemani setiap langkah. Aku sudah melihat rumahnya, sama persis dengan nomor yang ditulisnya pada secarik kertas ini, nomor tiga puluh delapan. Nama jalannya pun sama, Jl. Delima. Rumah yang berpagarkan besi dengan corak bunga disetiap bingkainya. Ya, itu adalah rumah Zahra.

Belum sempat aku menekan bel berwarna putih disamping pagar, aku melihat dari lubang kecil pagar, aku tak sengaja untuk memperhatikannya, tapi didepan pintu masuk, aku melihat Zahra, dia tidak sendiri, aku melihat seseorang lain disana, laki-laki dengan tinggi yang hampir sama denganku, laki-laki itu memiliki rambut ikal berwarna hitam, laki-laki itu mengenakan kemeja bergaris warna biru yang lengannya digulung hingga siku, mengenakan celana bahan berwarna hitam dan sepatu panthofel hitam yang mengkilat karena efek lampu teras. Tak lama, laki-laki itu mencium kening Zahra, wanita yang tepat berada di depannya, setelah kecupan itu, mereka tersenyum dan dilanjutkan dengan sebuah peluk. Sebuah peluk yang tak pernah aku lihat setelah satu tahun.

Dan seketika, rangkaian bunga yang sengaja aku bawa tak ada arti apa-apa, aku tahu jika beberapa cangkir coklat panas di kedai itu tak berarti apa-apa, bahkan untuk seseorang yang baru aku kenal, sepertinya aku sudah jatuh cinta benar, jatuh cinta sendirian. Hanya sendirian aku menikmati jatuh cinta itu, tentang rasa yang tak terbendung hingga akhirnya sebuah sesal karena sudah mencoba mengenalmu. Siapalah aku ini, yang terlalu berharap kepada hal yang mustahil. Entah bagaimana, cuaca malam itu tiba-tiba menjadi mendung dan beberapa detik kemudian menjadi hujan, lantas aku memutuskan untuk pulang, berjalan dibawah guyuran air hujan, pikiranku kalut dan rasa tak akan pernah sepahit ini.

Lalu aku tahu, jika bermain dengan hujan tak akan membuat sakit, karena aku sudah terlalu sakit dengan sebuah sikap, padahal hanya aku yang terlalu berlebihan.

***

                Tiga bulan kemudian, aku tak pernah lagi melihat dia bermain dengan hujan, mungkin sudah ada hujan lain yang menemaninya, aku tak pernah tahu lagi tentang dia, mungkin sudah ada orang lain yang pantas mengetahui keadaannya. Tapi aku masih duduk, di meja kayu yang dipinggirnya dibatasi dengan kaca besar transparan dengan menikmati cangkir demi cangkir kopi hitam, bukan lagi coklat panas. Mungkin aku sedang mencoba menikmati rasa lain. Di meja lain, aku melihat seseorang wanita sedang berkutat dengan laptopnya, dan beberapa tumpukan buku, mungkin wanita itu penulis, mungkin juga seorang editor. Karena terlalu lama aku meliriknya, dia tiba-tiba membalas lirikanku dengan tersenyum, senyum yang sama, tapi oleh orang yang berbeda. Tapi aku tak berani memulai lagi, aku masih bertahan pada ruang yang berantakan, sendirian.

foto daraprayoga

Setelah kopi pada cangkir ini habis, aku harus mengakhiri juga sebuah rasa yang sudah menjadi hambar. Akan butuh waktu merubah rasa itu menjadi tidak hambar lagi, seperti dulu.





Yogyakarta, 3 Juli


Posting Komentar

0 Komentar