Cerpen Melepaskanmu

Cerpen Melepaskanmu
Pantai ini bukan lagi tempat indah, bukan lagi tempat yang sering ia kunjungi, dan bukan lagi tempat untuk melihat sunset tenggelam. Rindu yang telah lama usang tak lagi mudah untuk dilukis, apalagi dicari keberadaannya, hal itu sudah tak lagi ada.

Penantian ini membentangkan waktu yang berhari-hari, berjam-jam, bahkan hingga ribuan detik hanya untuk menanti sebuah kehadiranmu kembali, hingga semua penantian ini tak berarti lagi, mungkin aku terlihat bodoh jika orang lain mempertanyakan penantian ini untuk siapa? Ah, sudahlah. Kau yang sudah memilih persimpangan jalan lain semakin mendekatkanku pada kesepian, kerinduan, kehampaan dan keraguan untuk memulai mencari hati lain.

Aku tak mampu melewatinya, bahkan aku tak mampu melangkahkan langkah ini menuju persimpangan lain, persimpangan yang tak pernah ada bekas jejak langkahmu. Hingga waktu yang berputar, kita tak akan bertemu lagi.

Kau tahu apa yang seharusnya ada, tapi kau tak pernah mengganggap hal ini ada. Ya, dunia kita sudah berbeda, aku tak lagi mampu menggenggam tanganmu, tak lagi mampu memeluk hangat tubuhmu bahkan aku tak lagi mampu melihatmu, kadang disetiap pagi, aku selalu berharap jika mata ini aku buka, kau ada dihadapanku, berdiri dengan senyum manis kearahku. Tapi harapanku terlalu berlebihan, hingga semua itu tak pernah terjadi.

“Sam, aku harus pergi!” kau berkata seolah melepas itu sangat mudah, mungkin disisimu itu mudah tapi disisiku itu hal yang tak mudah.

Aku tak ingin cepat menjawabnya, aku melihat gambaran wajahmu yang seolah harus mempersilahkan agar ia benar-benar pergi, entah kemana.

“Kemana?” tanyaku lirih.

“Aku tidak bisa lagi sama kamu, kita tidak cocok!”

“Apa yang kamu tahu tentang cocok? Dua hal yang serasi? Dua hal yang sama? Atau dua hal yang saling membutuhkan?” tanyaku lagi.

“Dua hal yang saling membutuhkan!” lanjut ia berkata, “Aku tidak bisa lagi melanjutkan semua ini, aku capek!”

“Aku bisa!”

“Tapi aku tidak bisa, lagi!” kau berkata dengan nada tinggi, lalu pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban, entah kau beranggapan jika seseorang lawan bicaramu akan menyetujui ajakan itu.

Aku sadar, jika kepadamu cinta ada bahkan menjadi nyata. Tapi kau tak pernah mengganggap cinta kita ada, bersamaku rasamu hanya semu tak nyata, bahkan menjadi hambar. Sam hanya duduk termenung ditaman itu, hanya sendiri dan berteman sepi. Bangku ini biasanya menjadi tempat mereka berbincang, bangku besi berwarna hijau dengan warna yang hampir pudar, sepudar perasaan yang dimiliki oleh Putri. Kemudian disamping bangku ini sudah tak lagi ada sosok indah yang menjadi pemandangan mata, sudah hilang. Aku tak benar melepasmu, aku memang tak mampu ,tapi kau membuatku menjadi mampu, dengan kenyataan ini.

Taman ini sudah tak lagi indah, sudah tak lagi sering ia kunjungi, sudah tak lagi menjadi tempat berbincang dengan dia, sudah tidak lagi. Setelah pantai, taman, mungkin semua tempat disudut kota ini sudah tak lagi penting untuk ia kunjungi, setelah rasa kecewa, setelah rasa pahit dan setelah semua hal yang berakhir dengan tidak baik-baik terjadi.

Aku tak lagi menunggumu, tak lagi menantimu dan tak lagi berada ditempat kita bertemu. Aku belajar melepasmu, untuk merelakan yang bukan milikku lagi, untuk memberikan ruang gerak kepadamu yang mungkin sudah bosan. Ya, dengan perpindahan akan membuatmu menjadi yang kamu inginkan. Setelah semua hal indah itu kau tak lagi nyata, kau sudah pergi, bahkan tak akan kembali lagi.

Setelah kau benar-benar pergi aku sadar jika semua rasa yang aku anggap pahit sebenarnya tak benar-benar pahit, hanya belum tercampur oleh gula sebagai pemanisnya. Dan disetiap pagi, ketika aku membuka mata ini dari tidurku, aku bisa melihat bayangmu, bayangmu yang menggunakan kostum serba putih, kau melihatku tersenyum, aku membalas senyuman itu, lalu setelah aku mengedipkan mata beberapa saat, tiba-tiba kau tak tampak. Ternyata aku hanya bermimpi, bermimpi disaat kita berbincang ditaman itu.

Aku tidak bisa mendefinisikan cinta itu apa? Tapi kepadamu aku mulai mengerti, jika definisi cinta adalah kamu!


Jogjakarta, 13 September