Udah lebih dari berpuluh minggu yang sejuk, damai dan nyaman
gue lewati dengan kemalasan untuk buka Ms Word, akhir-akhir ini kegiatan
produktif itu mulai memudar, faktornya banyak, dari masalah kecil yang
dibesar-besarin, hingga masalah besar yang makin dibesar-besarin (Jangan jorok). Gak
tahu mau nulis apa, tapi gue ngerasa ini adalah puncak dari kegelisahan yang
selama ini menghantui pikiran.
Kadang gue gak berhenti mikir, bagaimana ya orang bisa
dikatakan bertanggung jawab?
Pertanyaan itu bikin gue stress, gelisah dan resah. Sampai
gue niat banget browsing cuma buat nyari jawaban dari pertanyaan itu. Jawabannya pun
macem-macem, ada yang cerdas, biasa aja sampai ada juga yang gak nyambung
abisss. Gue gak berhenti browsing buat dapetin jawaban dari pertanyaan itu,
sampai pada kuota internet abis dan gak bisa buka apa-apa gue tetep belum puas
dengan semua jawaban itu.
Gue memutuskan untuk bikin teh, diem sejenak sambil mikirin
jawaban itu, kalo kata orang jaman dulu, “Mikir karo disambi udut.” Artinya mikir
sambil ngeroko dulu. Iya, diem sejenak itu bikin pikiran jadi luas, mikirin
apa-apa aja solusi dari keresahan hati. Gue baru sadar, jawaban dari pertanyaan
itu adalah kita harus menyelesaikan sesuatu yang udah diberikan oleh orang lain
dengan baik dan benar, meskipun sesuatu itu gak selesai dengan apa yang orang
lain mau.
Kadang kita hanya berpikir pada satu individu, me-yaudah-in
perkara yang seharusnya jadi tanggung jawab. Iya, kita selalu menganggap mandat
dari orang lain itu mudah dan gampang dengan kata, “Ah, cuma gitu aja, besok
juga bisa lagi.” Padahal kan gak gitu.
Gue setuju kalo tanggung jawab itu adalah janji, iya janji
itu harus ditepati, kalo pun gak bisa ditepati kita tinggal ngomong gak bisa, dengan
jawaban seperti itu orang yang menitipkan mandat gak berharap lebih. Gue sempet mikir, bagaimana orang menyelesaikan tanggungjawabnya
hanya dengan sebatas main-main tanpa hasil.
Ada lagi yang lebih kacau.
Seorang teman pernah bercerita, jika hubungan asmaranya
terancam rapuh karena hal yang menggelikan, bukan karena salah-satunya
selingkuh, bukan karena salah satunya penyuka sesama jenis tapi salah satu
orang tua mereka gak setuju, alasannya karena salah satunya terlahir dari kota
yang (((dulu))) pernah punya hal pahit.
Dengerin cerita itu gue gak bisa berhenti ngakak, bagaimana
mungkin orang sudah dikatakan gak baik hanya dengan alasan konyol itu. Padahal
yang harus orang itu ketahui adalah gak menebak tapi mencari kebenaran dengan
berkomunikasi atau improvisasi dengan orang yang bersangkut atau kalo pinter ya
kepo sama lingkungan target, bukan menebak dengan felling.
This is bitchy
brotherrr.
Asli gue gak ngerti itu artinya apa.
Komunikasi adalah jalan menuju transparasi, gak ada orang
yang tahu karakter, kegiatan, detail pribadi orang lain tanpa tatap muka dan
berkomunikasi, sekalipun dia seorang stalkler, gak ada. Orang yang men-judge
orang lain jelek padahal dirinya sendiri gak mau dianggap jelek itu semacam
kucing berjiwa iblis, keliatan lucu tapi kejam, true!
Entah bagaimana orang-orang semacam ini hidup dalam era
simbiosis mutualisme, dimana semua orang saling membutuhkan, mungkin
orang-orang semacam ini bukan penganut paham simbiosis mutualisme, tapi paham
humanisme yang artinya hanya memikirkan diri sendiri tanpa peduli dengan orang
lain, padahal Indonesia adalah Negara Pluralisme dimana banyak keragaman dan
suku yang berbeda-beda, jadi gak bisa hanya menebak gitu aja.
Kayaknya orang-orang semacam ini harus diajarin Sejarah lagi
deh biar wawasannya luas.
This is a Fvking
people in the world.
Sekarang gue ngerasa kayak hidup dalam kotak dalam maya, semuanya keliatan nyata tapi terasa semu.
0 Komentar